Pelajaran dari Pendakian

Kesempurnaan dari sebuah pendakian adalah sampai di puncak, bener gak sih?

Anak saya ngeyel katanya gak mau ikut pendakian kalau tidak bareng Aa Kiting. Ini tidak benar. Bisa-bisanya anak saya berpikiran demikian. Bagaimana kedepannya kalau orientasinya pendakian yang menyenangkan itu hanya dengan Kiting saja?

Kiting, nama aslinya Alfi, cowok humoris domisili di Bogor yang sudah saya dan suami anggap adik sendiri saking seringnya kami melakukan pendakian bareng.

Fahmi putra saya merasa nyaman mendaki bersama Kiting karena saya akui, Kiting orangnya humoris, mengayomi, sabar dan yang pasti meski badannya kecil ia cukup kuat untuk menggendong Fahmi, atau membawa double carrier yang isinya kulkas alias bahan logistik selama pendakian!

“Kalau sama Aa Kiting enak, Ami bisa makan sosis, seblak, kentang goreng, nugget, pokoknya enak-enak. Ami suka…”

Hadeuh. Nih anak dikira kalau emaknya gak belanja semua itu apa ia bisa menikmati semuanya? Hei, semua itu beli uangnya dari ayahmu, Mi!

Itulah kalau anak sudah merasa nyaman dengan sesuatu, susah untuk move on dan mendapatkan atau mencoba hal baru.

Memang saya dan suami akui, selama melakukan pendakian ke beberapa puncak Gunung, Fahmi sukses tanpa rewel bisa mencapai puncak jika Kiting bergabung bersama kami.

Bahkan, Fahmi seperti bukan anak kami saja karena sejak berdoa untuk naik hingga berdoa setelah turun Fahmi selalu jauh-jauh dari kami.

Entah kenapa kalau nanjak bareng orang lain, kekuatan kaki tuh anak bisa jadi berkali-kali lipat. Kami masih di pos dua, ia udah istirahat di pos tiga. Seperti tidak ada lelahnya. Tapi jika berjalan bareng saya atau ayahnya, rewelnya bukan main. Manja, minta ini itu, capek deh…

Fahmi sudah terlanjur nyaman nanjak bareng Kiting, si carrier biru

Banyak pendaki yang berpapasan saya tanya, apakah melihat anak kecil dengan ciri-ciri seperti Fahmi di jalur naik? Mereka jawab ada, bersama pendaki dengan carrier biru sedang buka bekal di pos tiga.

Nah, itu pasti Fahmi bareng Kiting. Dan ketika saya memasuki pos tiga, Fahmi dan Kiting sudah tidak ada. Mungkin sudah jalan dan kembali istirahat di pos empat? Selalu begitu…

Mungkin pada saat tidur di tenda saja Fahmi kembali nemplok di saya dan menandakan ia anak saya karena ia tidak bisa tidur di tenda Kiting yang selalu tidur larut. Fahmi juga masih harus diusap-usap badannya kalau mau tidur dan itu tidak bisa diwakilkan kepada siapapun.

Di satu sisi saya bersyukur Fahmi merasa nyaman dengan Kiting. Karena Kiting banyak mengajarkan kebaikan dengan cara tidak menggurui. Di sisi lain saya gelisah. Fahmi jangan sampai bergantung kepada Kiting. Tidak mungkin setiap melakukan pendakian Kiting bersama kami. Sesempurna apapun Kiting di mata Fahmi, anak kami harus bisa mandiri.

Fahmi harus bisa menjadi diri sendiri dan percaya akan kemampuannya. Jangan sampai ia merasa nyaman jalan ditemani Kiting, hingga ia tidak mau melakukan pendakian lagi kalau tidak bersama Kiting. Kiting pun mengetahui hal itu. Kami membicarakannya saat beberapa kali Kiting main ke rumah.

Jangan sampai Fahmi tidak mau mendaki kalau tidak ada Kiting. Itu sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari manajemen tim pendakian yang kacau hingga membuat regu pendaki jadi tidak kompak.

Kesempurnaan dari sebuah pendakian bukanlah sampai di puncak…

Akhirnya Kiting mengajak teman-teman lainnya untuk mendaki  gunung Gede Pangrango termasuk mengajak saya dan keluarga. Kami melakukan koordinasi dengan melibatkan Fahmi. Supaya ia paham siapa tugasnya apa dan apa saja tanggung jawab nya.

Semua sepakat, Fahmi berangkat di depan dengan Izay, Dennis dan Daud di belakang Kitong sebagai navigator dan ayahnya sebagai leader.

Biar gak bingung, sedikit saya perjelas dulu tentang formasi pendakian nya, ya. Jadi bentuk formasi pendakian biasanya terdiri dari satu baris regu pendaki. Urutan posisi dari depan ke belakang adalah navigator, leader, follower, logistik, chef, dan terakhir sweeper. Setiap jabatan di formasi pendakian memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Saya sebagai koki gunung alias team logistik berjalan di belakang dengan Anna dan rombongan para ladies dari Bekasi, sementara Kiting sebagai sweeper tentu saja berjalan paling belakang. Haha, kami sengaja “memisahkan” Fahmi dan Aanya itu segitu jauhnya.

Selama perjalanan, semua tidak banyak yang berubah. Fahmi tetap berjalan dan berinteraksi dengan Kitong, Dennis, Daud dan Izay dalam pantauan ayahnya. Saya ketahui itu setelah kami sama-sama istirahat di akhir tanjakan menuju pintu masuk hamparan Suryakencana sebelum melanjutkan perjalanan mendirikan tenda mendekati jalur ke puncak.

Di hamparan alun-alun Suryakencana di antara semak edelweis itu Fahmi tetap ceria dan ngobrol dengan Izay. Sepertinya mereka bisa saling mengimbangi. Usia Fahmi dan Izay hanya beda sekitar lima tahun.

Saat makan, saat tidur, saat melakukan summit dan istirahat di puncak, Fahmi ceria seperti biasa tanpa harus jalan bareng dengan Aanya lagi.

Yes. Berarti rencana kami berhasil. Fahmi sebagai pendaki pemula mulai paham tentang formasi pendakian dan peran pendaki di dalam sebuah regu. Dan Fahmi tidak lagi bergantung kepada siapa pun.

Selama pendakian kami amati komunikasi Fahmi dan sesama pendaki lain tidak buruk. Mereka bertiga yang berada di barisan follower terlihat kompak, tidak egois, dan saling interaksi dengan kondisi rekannya.

Kesuksesan sampai di puncak Gede dan Pangrango bukan karena kesempurnaan kami, melainkan karena kekompakan dan kebersamaan
Kangen kalian, Dennis, Izay, Daud, Kitong, Kiting dan Bang Ndre

Saat cuaca mulai berubah atau ada seseorang kelelahan dalam perjalanan mereka tidak meninggalkan satu sama lain. Tapi saling memperhatikan dan selalu ngomong untuk koordinasi lanjutan ke ayahnya yang ada di depan sebagai leader.

Pendakian ke Gede Pangrango kali ini memang banyak membawa hasil. Semua formasi aman dan bisa sampai ke puncak. Termasuk team buibu rempong di formasi team logistik. Sungguh sebuah pendakian yang sempurna, meski kami tahu tidak ada satupun yang bisa sempurna.

Karena yang utama dalam pendakian adalah jangan egois, jangan acuh terhadap sesama anggota pendakian, jangan menyepelekan dan merasa diri paling segalanya.

Tidak ada yang sempurna sesungguhnya. Jika memang tidak bisa lanjut muncak, jangan dipaksakan. Ingat, puncak gunung tidak pergi kemana-mana. Jika tidak bisa muncak hari ini, masih ada hari esok. Bukankah mengutamakan keselamatan rekan satu tim pendakian terlebih dahulu itu lebih utama?

Menunjukkan kesempurnaan dan ketidaksempurnaan yang saling melengkapi, saling menguatkan salah satunya bisa kita temukan dalam perjalanan pendakian. Fahmi dan Kiting yang sengaja kami pisahkan, salah satu faktanya.

Fahmi di puncak gunung Kerinci

Mungkin karena itu ada pepatah, “Jika ingin tahu sifat asli seseorang, ajaklah dia mendaki gunung.” Nasihat itu ada benarnya. Karena saat di gunung, kondisi fisik, mental dan pikiran seseorang akan cenderung lengah. Dan sifat asli seseorang akan muncul tanpa dia sadari.

Jadi, jangan heran kalau ngajak teman mendaki, lalu tiba-tiba temanmu yang begitu sempurna itu terlihat berbeda dari biasanya. Hehe… Tak apa, kita balut ketidaksempurnaan nya dengan kekompakan saja, ya.

Tulisan ke-7 three day on post dari Founder Komunitas ISB, Ani Berta, dengan tema “Perfect Imperfect”

26 thoughts on “Pelajaran dari Pendakian”

  1. Seruu banget sejak kecil.sudah diajak naik gunung ya teh okti. Tapi emang kalau ada orang yang lucuu perjalanan gak membosankan plus mengurangi capek krn sambil.kerja di BCA bali

    Reply
  2. Keren banget Fahmi udah ikutan naik gunung! mantab sekali ini sih, aku terlalu anxiety buat jalan2 ke gunung teh hehehe..entah yah OVT banget padahal seseru itu apalagi bisa sama teman-teman

    Reply
  3. keren dan seru bgt, ternyata keluarga petualang dan sering bgt mendaki bukit dan gunung.. pasti akan mewariskan sebuah cerita dan pelajaran hidup yang berharga buat anak2nya kelak..
    trimakasih udah berbagi ceritanya mbak..

    Reply
  4. Masyaallah, akhirnya Fahmi bisa terpisah dan tidak bergantung lagi sama Aa Kiting. Suka banget dengan cerita pendakian ini, secara saya tuh pernah ikut mendaki puluhan tahun lalu dan pulangnya ditandu karena tidak kuasa gerakkan kaki lagi hahaha. Dan itulah pendakian pertama dan terakhirku wkwkwk.

    Reply
  5. Salah satu temen travel blogger Jogja juga ada Mak yang sejak anaknya kecil udah ngajak naik gunung dan eksplor alam. Seneeeng banget baca kisah perjalanannya sama kayak Mak Okti dan keluarga punya juga. Sekarang anaknya udah usia SD dan ikut kegiatan panjat dinding. Emang deh ya, udah bibit2 mapala sejak kecil kayanya wkwk

    Reply
  6. Meskipun suamiku hobi naik gunung tapi aku belum pernah ikutan wkwkw, soalnya aku alergi udara dingin, kalau cuaca dingin langsung bentol-bentol tapi aku suka kalau suami cerita tentang teman-temannya terutama teman naik gunungnya saat kuliah, ada banyak momen yang ngak terlupakan.

    Reply
    • Aku selalu mau naik gunung
      Tapi ada anak tiga yang masih bikin saya maju mundur
      Padahal dulu aku suka kemana mana dalam organisasi
      Ke gunung dan hutan pun ga masalah

      Reply
  7. Ih kangen banget deh ih bisa naik gunung lagi. Kebetulan deh aku ketemu temen SMP yang gemar naik gunung. Udah rencana, nanti bulan September mau naik gunung. Ah, baru ngebayanginnya aja udah seneng. Dan iya, mereka itu konyol-konyol ya. Tapi setuju, mereka ngangeniiiin 😀

    Reply
  8. Teteh Okti seru sekali pengalaman mendaki gunung Gde bersama keluarga. Fahmi hebat tuh melakukan pendakian. Dan memang bener mba baiknya kalau tahu sifat seseorang ajak dia mendaki. Kapan kapan pengen ikut 🙂

    Reply
  9. Aku jadi kangen naik gunung! Suka kalau lihat ada anak yang ikut diajak muncak. Pasti persiapannya banyak ya apalagi masih kecil gitu. Terus aku mikir, pasti juga butuh jasa carrier entah untuk bawa barang atau ya nemenin anak kita jalan. Semoga kalau berkeluarga, aku bisa kaya gitu. Nanjak bersama-sama

    Reply
  10. Bener-bener standing applause banget buat keluarga teh Okti.
    Kompak selalu.
    Dan dibinanya salah satunya saat hiking begini. Keren banget untuk komunikasi dengan pasangan dan Aa Fahmi yang kuat, cerdas dan peduli dengan alam.

    Reply
    • Keren banget sih Fahmi dari kecil sudah terbiasa naik gunung ya jadi fisiknya lebih kuat dan tahan banting daripada anak seusianya mana ada om kiting yang bestie banget dengan Fahmi

      Reply
  11. Teh Okti ternyata ada formasi ya dalam pendakian, memang bener banget mendaki itu kan menguras energi lelah capek akire mudah tersinggung yaa…jd sifat asli bakal keluar deh…

    Sukaa tulisan teteh tidak ada pendaki yang sempurna yg tidak sempurna saling di melengkapi supaya sempurna saling support.

    Reply
  12. Benar sekali pepatah, “Jika ingin tahu sifat asli seseorang, ajaklah dia mendaki gunung.”

    Ingat dulu waktu masih kuliah dan rajin mendaki gunung, seorang teman yang belum pernah naik gunung, merasa jijik kakinya kena tanah liat dan lumpur .. daaaan…. dia menaruh dua rol tisu di kakinya!

    Yes definitely! Kebayang betapa marahnya kami semua haahaaa….

    Reply
  13. Bener banget, Mba. kalau mendaki kita jadi tau karakter masing-masing orang. Saya sering dulu pas jaman kuliah. Sekarang kayaknya dah ga sanggup lagi deh. Tapi pengen banget ajak anak untuk mendaki. Biar berkenalan dengan alam.

    Reply
  14. Masya Allah Fahmi kereeen sekali. Masih kecil sudah kuat sampai puncak. Bahkan beberapa puncak pernah ditaklukkan. Salut sama ayah bundanya deh.

    Sekarang sudah gak tergantung sama Aa Kiting lagi ya Fahmi.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics